Prabowo Subianto Berkomitmen Menghentikan Impor BBM dan Transformasi Energi Hijau di Indonesia

Palinghebohviral.com – Pada Pilpres 2024, calon presiden nomor urut dua, Prabowo Subianto, menegaskan komitmennya untuk menghentikan impor BBM, dengan visi menjadikan Indonesia sebagai negara pionir yang sepenuhnya menggunakan bahan bakar berenergi hijau. Keyakinan Prabowo terhadap konsep biofuel menjadi sorotan utama.

“Kita tidak akan lagi mengimpor BBM, saudara-saudara sekalian. Kita akan menghasilkannya dari kelapa sawit, jagung, dan tebu,” tegas Prabowo saat berbicara dalam Dialog Publik di Universitas Muhammadiyah Surabaya pada Jumat (24/11).

Harapan untuk mencapai swasembada energi dan pangan menjadi pilar utama dari janji Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dalam Pilpres 2024.

Indonesia Sebagai Konsumen Bahan Bakar Nabati Terbesar Ketiga di Dunia

Menanggapi hal ini, Direktur Kajian Agraria Center of Economic and Law Studies (Celios), MHD Zakiul Fikri, mengungkapkan bahwa Indonesia saat ini menempati peringkat ketiga sebagai konsumen bahan bakar nabati (BBN) terbesar di dunia.

Fikri menyoroti perlunya memenuhi kebutuhan sekitar 98 ribu barel per hari bahan bakar hijau di Indonesia. Meskipun jumlah ini masih jauh dari Amerika Serikat yang membutuhkan 558 ribu barel per hari dan Brasil dengan kebutuhan 418 ribu barel per hari.

Proyek Food Estate dan Tantangan Lingkungan

Fikri juga mencermati potensi hubungan antara upaya mencapai target produksi BBN dengan program food estate yang dikelola oleh Kementerian Pertahanan di bawah kepemimpinan Prabowo. Program ini telah mendapat kritik karena kurangnya regulasi yang adil dan pembangunan proyek yang dianggap tidak mendukung masyarakat rentan, seperti masyarakat adat.

“Tapi, proyek tersebut mendapat berbagai kritikan dari akademisi dan organisasi masyarakat sipil karena kurangnya kerangka regulasi yang adil dan proses pembangunan proyek yang berpihak pada masyarakat rentan di akar rumput, misalnya masyarakat adat,” jelas Fikri kepada Palinghebohviral.com, Selasa (28/11) soal ‘dosa’ food estate.

“Program tersebut juga dilaksanakan tanpa mempertimbangkan prinsip-prinsip lingkungan yang baik. Belum lagi, masalah gagal panen dan kelembagaan, seperti eksistensi perusahaan pengelola. Jadi, mengingat rapuhnya infrastruktur yang ada saat ini, pemenuhan bahan bakar melalui BBN masih jauh panggang dari api,” tambah Fikri.

Transformasi Energi: Tantangan dan Saran untuk Prabowo

Pengamat Energi Universitas Padjadjaran (Unpad), Yayan Satyakti, menyatakan bahwa janji Prabowo untuk menghentikan impor BBM tidak dapat diwujudkan dalam waktu dekat. Produksi migas Indonesia saat ini hanya mencapai 400 ribu-550 ribu barel per hari, sementara kebutuhan bahan bakar mencapai setidaknya 1,2 juta barel per hari.

“Tidak semudah itu, persiapan pasar dan ekosistem industri pasar biofuel, termasuk regulasi ekosistem industri, mungkin akan memakan waktu 5 hingga 10 tahun. Ini bukan hal yang mudah,” terang Yayan.

Meski demikian, Yayan memberikan saran kepada Prabowo agar, dalam tiga tahun pertama kepemimpinannya, memprioritaskan pembangunan infrastruktur kilang biofuel, seperti fatty acid methyl ester (FAME) yang bisa dicampurkan dengan biosolar. Diperkirakan diperlukan tambahan tiga hingga lima kali lipat kilang minyak dari jumlah saat ini, dan harus dilakukan secara perlahan namun masif.

Senada dengan itu, Rektor Institut Teknologi PLN, Iwa Garniwa, menekankan bahwa ekosistem biofuel perlu dibangun sebelum menghentikan impor BBM. Ia menyatakan bahwa Indonesia saat ini masih kesulitan memenuhi 30 persen minyak nabati, dan diperlukan waktu setidaknya lima tahun untuk membentuk ekosistem hingga rantai pasok biofuel. Kunci utamanya adalah konsistensi dan komitmen kuat dari pemerintah dalam membangun infrastruktur dan regulasi.

Sorotan Potensi Dampak Lingkungan dan Tantangan Keuangan

Analis Energi Institute of Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), Putra Adhiguna, menyoroti potensi ‘dosa’ baru yang dapat muncul dari proyek biofuel ini. Ia memperingatkan agar penggunaan bahan bakar hijau tidak merusak lingkungan.

“Biofuel bisa menjadi opsi, tetapi harus diingat agar tidak menyebabkan kerusakan lingkungan selama pengembangannya,” pesan Putra. Ia juga menekankan perlunya kejelasan dalam peta jalan terkait dengan siapa yang akan menanggung selisih harga produk bioetanol dengan bensin reguler. Putra mencatat bahwa harga indeks pasar bioetanol pada September 2023 sudah mencapai Rp12.725 per liter.

Putra juga mengungkap potensi pembengkakan impor, mengingat bahan baku bioetanol juga harus dipenuhi dari negara lain. “Perlu diperjelas apa bahan bioetanol Indonesia, mengingat kita adalah importir gula terbesar kedua di dunia sehingga alasan ketahanan energi bisa jadi tanda tanya. Sementara untuk biodiesel, ini bergantung pada industri kelapa sawit yang sudah besar. Pertanyaannya untuk bioetanol, siapa yang akan menopangnya?” ungkapnya.

“Sangat tidak mudah dan potensi mahal. Ingat, Indonesia mengeluarkan sekitar Rp30 triliun sampai Rp50 triliun per tahun untuk mendukung biodiesel,” pesan Putra.

(dkm)

No comments yet! You be the first to comment.

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *